Rabu, 18 Agustus 2010

bukit bintang

BUKIT BINTANG

Yogyakarta, Indonesia, 20 September 2010
“Karin. Aku tak ingin jauh darimu. Ini semua karena janji ayah dan ibuku.”
“Mathew, aku megerti. Kamu sudah berulangkali mengatakan itu padaku. Akupun tak ingin jauh darimu. Tapi kamu harus menuruti apa kata orang tuamu. Karena orang tuamulah orang yang pertamakali harus kamu turuti.”
“Makasih Rin. Aku janji lima tahun lagi setelah perjanjian kedua orangtuaku selesai aku akan balik ke Indonesia. Tepat saat ulangtahunmu, disini, tempat dimana penuh dengan suara curahan hati kita.”
“Dan tentu saja saat bintang-bintang mulai menampakkan dirinya.”
“Iya.”
“I keep your promise Math. I’ll wait for you here.” Air mataku tak terasa sudah mengalir seperti anakan sungai karena salam perpisahan ini.
“Don’t cry my little girl.” Math memelukku.
“Don’t call me little girl again.” Kami sama-sama tersenyum dan menangis di bukit bintang dan disaksikan ribuan bintang yang berkelip dengan manis.
###

5 tahun kemudian
Yogyakarta, Indonesia, 11 September 2015
“Karina, benar ulang tahun kamu besok kamu tak ingin merayakan bersama teman-temanmu?”
“Nggak Bunda. Karin kan sudah besar. Karin juga nggak mau boros. Rencananya Karin mau ngrayain bareng sama anak Rumah Bintang aja. Kan lebih bermanfaat. Biar mereka juga bisa ngrasain seneng Bun.”
“Oh gitu. Mau pesen di cattering biasa? Nanti Bunda pesenin.”
“Iya Bun. Makasih ya Bun udah mau bantuin Karin.”
Bunda mengangguk dan keluar dari kamarku.
Ulangtahunku kali ini adalah ulangtahun yang sangat aku tunggu-tunggu. Ya benar, karena Mathew, karena janjinya 5 tahun lalu.Math adalah orang yang tak pernah ingkar janji. Namun baru kali ini dia berjanji untuk waktu yang sangat lama, lima tahun. Aku berharap dia masih ingat janji itu walaupun aku sendiripun ragu.
Math temanku sejak SMP. Dia anak keterunan campuran Indonesia-Australian. Namun orangtuanya bercerai sejak Math berumur lima tahun. Orangtuanya punya perjanjian saat bercerai. Math akan ikut mamanya di Indonesia sampai lulus SMA. Kemudian dia akan kuliah di tempat papanya, Australia. Setelah itu Math diberi kebebasan untuk memilih dimana dan bersama siapa dia akan tinggal.
“Math, aku kangen sama kamu. Apa kamu juga kangen sama aku? Ingatkah kamu sama janji kamu dulu?” kataku sambil mengambil fotoku dan Math yang ada dimeja belajarku, “atau kamu tak ingat dengan janji itu? Atau bahkan kamu tak ingat denganku? Ah, aku akan menunggumu di bukit bintang tiga hari lagi. Aku sangat berharap kamu memilih untuk disini.”

###

Sydney, Australia, 11 September 2015
“Ma, mama kapan datang ke Aussie. Kenapa nggak telpon Math dulu?” aku terkejut dengan kedatangan mama yang tiba-tiba. Biasanya mama selalu menelponku kalau ingin kesini.
“Maaf Math. Tapi kemarin mama sudah menelpon papamu. Dimana papamu sekarang?”
“Di ruang kerja sepertinya.”
“Oh, masih sibuk saja dia. Mathew, ayo ikut mama.”
Mama melangkah menuju ruang kerja papa dan aku mengikutinya.
“Thomas, hari ini saatnya Mathew menentukan jalan hidupnya setelah kemarin dia diwisuda. Dan aku harap kamu tidak mempengaruhi Mathew dalam bentuk apapun selama ingatannya belum pulih benar.
“Ranti, what are you talking about? I never did it because I believe that Mathew will choose to live here.”
Aku tak mengerti apa yang sedang mereka bicarakan. Menentukan jalan hidupku? Apa maksudnya? Kenapa hal ini harus membuat kedua orangtuaku seperti ini?
“Mathew, sekarang mama dan papamu ingin tahu. Kamu setelah ini akan tinggal dengan mama atau papa kamu?”
“Ma, aku nggak ngerti apa maksud mama dan papa. Kenapa aku harus memilih?”
“Karena seperti itulah perjanjiannya.”
“Perjanjian? Masih berlaku perjanjian itu? Aku kira kita bertiga bisa tinggal bersama lagi. Tapi ternyata.”
“Ranti, aku mohon biarkanlah Mathew tinggal disini dulu sampai ingatannya benar-benar pulih.”
“Tapi Thomas bagaimana dia bisa ingat seutuhnya kalau kamu menahannya disini. Semua sudah dia ingat kecuali kenangannya selama di Indonesia.”
“Ma, Pa, Stop! I’ll choose my right way!” Aku pergi dari ruangan papa, meninggalkan mereka berdua dan menuju ke kamarku.

“Papa, mama, sama saja. Tak pernah ada yang mau mengalah. Harapanku untuk memiliki keluarga utuh ternyata sangat sulit. Mereka bilang sudah bercerai, tapi aku tak pernah ingat kalau mereka sudah bercerai. Ah, kenapa aku sama sekali tidak bisa mengingat masa laluku selama di Indonesia.” Aku kesal sendiri pada diriku yang tak segera bisa mengingat kenangan-kenanganku di Indonesia..
Aku memperhatikan segala hal yang ada dikamarku yang mungkin mampu untuk merangsang otakku untuk memanggil ingatan masa laluku selama di Indonesia. Dan tiba-tiba mataku tertuju pada sebuah kotak yang berada diatas meja. Kata papa kotak itu aku bawa dari Indonesia dan aku selalu bilang pada siapapun agar tidak membuka kotak itu.
“Ah, itu dia yang aku cari.”
Aku membuka kotak itu. Ada dua buah gelang dari untaian tali didalamnya, sederhana tapi unik. Dan dibawahnya ada sebuah kalender mini yang sepertinya dibuat sendiri oleh seseorang. Kalender itu hanya ada satu lembar, tepat kalender untuk bulan dan tahun sekarang. Namun ada satu tanggal yang ditulis berbeda, dibingkai lingkaran merah dan ada keterangan dibawahnya.
Karin “bukit bintang”
Itu tulisan tanganku. Tapi apa maksudnya? Bukit bintang? Dimana itu? Sepertinya bukan tempat disini dan disini aku juga tidak punya teman yang bernama Karin. Namun dibalik kalender itu ada fotoku dan seorang gadis. Sepertinya ini foto saat aku masih SMA.
“14 september? Ada apa ya dengan tanggal ini? Sekarang sudah tanggal 11, berarti tinggal 3 hari lagi. Apa ya maksudnya? Dan Karin? Apa gadis ini yang bernama Karin?” lama aku berfikir tapi tak menemukan apapun dari semua clue itu. Tapi tak sia-sia juga kotak itu aku buka karena aku yakin aku harus pergi kemana.
Aku berlari keluar kamar, mencari mama dan papa.
“Pa, Ma, Math tahu harus kemana. Math akan ke Indonesia besok. Dan Math akan memberikan jawaban jalan pilihan Math.”
“Are you seurious Math?”
“Yes Pa. I’m serious.”
“Tapi Math.”
“Pa, Math ingin mengingat semua masa lalu Math. Dan inilah caranya. Math harus ke Indonesia.”
“Baiklah Math. Papa rasa tak adil jika papa melarangmu. Pulanglah besok dengan mamamu.”
###

Yogyakarta, Indonesia, 13 September 2015
Jam 10 waktu Indonesia, aku mendarat di bandara Adi Sucipto. Kami langsung menuju rumah mama yang berada disebuah perumahan elit. Mama baru pindah kerumah baru ini satu tahun lalu.
“Math, kamarmu ada diatas. Istirahatlah! Nanti mama akan mengajakmu jalan-jalan.”
“Ok Ma.”
###

Yogyakarta, Indonesia, 13 September 2015
“Tinggal satu hari lagi. Aku masih tetap menunggumu Math. Andai saja rumah mama kamu masih tetap di blok sebelah, pasti sekarang aku sudah mandapatkan kepastian bahwa kamu benar-benar menepati janjimu.” Aku melamun di depan beranda rumah sambil bergumam sendiri. Tiba-tiba ada sepeda motor yang berhenti didepan rumahku. Aku belum mengenal sepeda siapa itu, tapi aku sudah bisa menebak siapa pengendaranya.
“Hey, besok mau ulang tahun kok malah ngelamun kayak gitu. Awas kesambet lho.” Kata si pengendara.
“Apa-apan sih kamu Ndre. Tumben kesini, mau ngapain? Pamer udah dapet sepeda baru?”
“Yaelah non, jutek banget sih. Ati-ati ntar cepet tua lho. Hahaha.”
“Enak aja. Karin kan gadis paling imut yang akan selalu awet muda.”
“Eh, imut darimana. Cewek imut tuh kalo pake rok terus pinter dandan sama feminin. Lha kamu? Udah kemana-mana pake jins belel, kaus kutung, kayak kutu loncat lagi. Dilihat darimana tuh imut? Hahaha.”
Andre adalah teman akrabku sejak aku masuk kuliah di jurusan broadcasting. Setelah lulus satu tahun lalu dia merantau ke Jakarta untuk mengejar cita-citanya menjadi sutradara. Sedangkan aku masih bertahan di Jogja dengan membuat film-film indie bersama teman-temanku yang lain. Sejujurnya aku juga ingin mengikuti jejak andre untuk merantau tapi aku masih bertahan disini untuk menunggu.
“Ini kan juga gara-gara pengaruh kamu Ndre. Hahaha. Ngomong-ngomong gimana kabar di Jakarta?”
“Yah lumayanlah. Ow ya, aku punya kabar baik Rin. Aku dipromosiin jadi sutradara film ‘Menggapai Cinta dibawah Bintang’. Dan tadi pagi aku dapat kabar kalau produsernya setuju.”
“Wah, selamat ya Ndre. Aduh, itu kan novelnya jadi best seller. Kamu harus berusaha untuk menghasilkan yang terbaik. Jangan sampai mengecewakan yang udah pada baca novelnya.”
“Siap Bos.”
“Eh, karir kamu kan udah mulai berhasil nih. Tapi uda dapet cewek belum sih kamu? Giamana tuh cewek yang kamu tunggu bertahun-tahun itu?”
“Ehmm, ya tunggu aja deh. Aku belum bilang sama dia. Tapi besok aku janji akan bilang ke dia.”
“Lho, kok jadi salting gitu? Kenapa? Haha.”
“Ya uda ya Rin, aku tadi niatnya Cuma mau mampir kok. Aku mau ketempat Pakdhe-ku di Sleman. Mau ngasih proyek katanya. Besok aku kesini lagi.”
“Yah, belum juga aku buatin minum udah mau ngacir. Ya udah deh. Besok siang aku ada acara di Rumah Bintang sama anak-anak. Dateng ya Ndre.”
“Ok.”
Aku masuk kedalam rumah setelah motor Andre sudah tak terlihat di ujung jalan. Saat aku menutup pintu ada Honda Jazz biru yang melintasi depan rumahku tanpa aku sadari.
###

“Dimana kita sekarang Ma?”
“Ini rumah kita dulu. Sebenarnya mau mama jual. Tapi nggak jadi karena mama pikir mungkin kamu masih ingin melihat rumah ini. Semua masih sama seperti saat kamu tinggal dulu.”
Aku dan mama masuk dan melihat lihat semua yang ada didalam rumah. Mama mengantarku melihat-lihat kamarku dulu.
“Tak pernah ada yang merubah kamar ini Math, hanya saat dibersihkan saja kamar ini dimasuki orang. Lihatlah sepuasmu apa yang ada disini. semoga membantu kamu untuk mengingat semua. Mama ke dapur dulu ya sayang.”
“Iya ma.”
Sebuah ranjang ukuran satu orang, meja komputer yang sudah tak ada komputernya, rak buku yang sebagian bukunya tak ada karena pasti aku bawa saat ke Aussie, sofa empuk yang entah apa fungsinya disudut ruangan, dan sebuah almari. Kamar yang sangat simple untuk ukuran ruang 4x3m. dan nuansa merah-hitam-putih. Sama dengan kamarku yang ada di Aussie. Dibalik pintu ternyata ada sterofoam yang aku gunakan sebagai scrapbook. Ada tulisan ‘me&little girl’ diatasnya dan beberapa fotoku dan seorang gadis yang sama disetiap foto.
“Inikan gadis yang ada dibalik kalender itu. Aku harus mencari gadis ini.”
Aku keluar mencari mama untuk menanyakan gadis ini. Mungkin mama tahu.
“Ma, mama.” Panggilku.
“Den, Ibu Ranti sedang keluar sebentar. Ada urusan mendadak katanya. Den Mathew disuruh untuk menunggu disini untuk melihat-lihat semua yang ada disini. nanti Bu Ranti kesini lagi.”
“Oh, gitu ya. Terus kamu siapa?”
“Saya Ijah den. Yang ngurus rumah ini selama ibu pindah.”
“Oh, jadi kamu baru ya. Kamu pasti juga tidak tahu kalau aku bertanya tentang gadis ini.” Aku langsung pergi ke belakang rumah. Entah apa yang membawaku kemari, tiba-tiba saja aku sudah berhadapan dengan sebuah jalan setapak. Aku menyusurinya hingga sampai kesebuah tempat, sebuah bukit tepatnya.
“Tempat apa ini? Indah dan nyaman. Sepertinya tempat ini tidak asing.” Kepalaku mendadak pusing. Aku memutuskan untuk pulang karena aku takut jika tiba-tiba saja aku pingsan. Sudah lama aku tak merasakan pusing yang amat sangat ini. Sesampainya dirumah ternyata mama sudah menjemputku.
“Sayang, kamu darimana saja? Mama khawatir kamu kenapa-kenapa.”
“Math nggak apa-apa ma. Math Cuma dari belakang rumah tadi.”
“Ya sudah ayo kita pulang.”
“Ma, boleh nggak kalau hari ini Math ngenep disini?”
“Oh, kamu masih ingin disini. Baiklah, besok kalau kamu sudah mau pulang telpon mama biar mama jemput. Baju-baju kamu nanti biar diantar sama Pak Maman.”
“Iya Ma.”
###

14 September 2015
Baru saja aku selesai mengadakan acara syukuran bersama anak-anak Rumah Bintang. Aku sangat bersyukur mereka bisa senang dengan acara ini. Klebahagiaan mereka adalah kewajibanku. Aku tak ingin anak-anak cerdas seperti mereka selalu murung karena harus memikirkan bagaimana mereka mendapatkan makan untuk hari ini. Padahal umur-umur seperti mereka adalah umur yang seharusnya mereka gunakan untuk menuntut ilmu. Rumah Bintang adalah sebuah rumah yang dibangun aku dan Andre untuk anak-anak jalanan. Orang tuaku juga ikut andil mengurus mereka. Setidaknya Rumah Bintang bisa membuat mereka menjadi anak yang lebih baik.
“Makasih ya Ndre udah datang.”
“Iya, ini kan juga tempatku. Selama di Jakarta aku kangen banget sama rumah singgah ini. Aku kangen kalian, terutama sama kamu.”
“Hah? Maksudnya?”
“Rin, sekarang aku mau jujur. Sebenarnya orang yang aku tunggu bertahun-tahun itu kamu.”
“Jangan bercanda deh Ndre. Kamu kan Cuma suka sama cewek yang feminin.”
“Aku Cuma suka sama kamu Rin, hanya Karina.”
“Tapi Ndre.”
“Kamu masih menunggu orang di bukit bintang itu? Rin, ini sudah lima tahun. Dan dia sama sekali tak menampakkan batang hidungnya sampai sekarang.”
“Justru karena lima tahun itu Ndre. Maaf Ndre, aku nggak bisa.”
“Lima tahun waktu yang terlalu lama Rin. Apa kamu sungguh yakin dia masih ingat padamu? Kalau iya, kenapa dia tak pernah menghubungimu? Rin, aku mohon.”
“Ndre, aku tahu selama ini kamu selalu ada buat aku, tapi aku masih tetap menunggu dia sampai kapanpun. Lima tahun, sepuluh tahun, selamanya, aku nggak peduli.” Aku berlari entah kemana dan airmataku menetes begitu saja.
Matahari terik memanggang wajahku yang berlarian sambil menangis. Tapi aku tak peduli. Aku berjalan terus hingga sampai ke bukit bintang.
“Aku akan menunggu dari sekarang Math. Bukan nanti malam. Aku yakin kamu datang.” Aku mendaki bukit dan saat tiba di atas ternyata ada orang yang telah mendahuluiku. Siapa orang itu? aku berjalan perlahan-lahan. Orang itu tak sadar akan kedatanganku karena memunggungiku. Hanya aku, Math dan Andre yang tahu tempat ini. Tak mungkin itu Andre karena dia masih berada di Rumah Bintang. Apa itu…
“Math?”
###

“Math?”
“Ya.” Aku merasa ada yang memanggilku dari belakang.
“Math? Ini bener kamu?” kata seorang gadis yang tadi memanggilku.
“Iya, ini aku.”
“Kamu benar-benar datang Math. Aku tak percaya ini. Kamu benar-benar tak mengingkari janjimu.”
“Jadi benar hari ini aku memang punya janji di tempat ini?”
“Apa maksud kamu Math?”
“Kamu Karin?”
“Tentu saja iya. Kamu nggak ingat aku?” dan gadis itu tiba-tiba menangis.
“Maaf, maafkan aku. Aku sedang dalam masa pemulihan dari amnesiaku. Please don’t cry little girl.” Aku berusaha menenangkan gadis yang bernama Karin ini.
“Nggak mungkin kamu amnesia, buktinya kamu masih memanggilku little girl.”
“Tapi aku tak sengaja, ah..” kepalaku mendadak kembali pusing. Melihat wajah gadis itu seperti membuka banyak kenangan. Aku ambruk ke tanah dalam posisi setengah sadar.”
“Math, kamu kenapa?”
“Karin, iya kamu Karin. Aku ingat. Kita dulu teman, kita sering disini.” kataku dengan terbata-bata sambil memegang kepalaku. Karin menopang tubuhku. Walaupun badannya mungil namun ia punya tenaga super menurutku karena bisa menopangku.
“Math, maafkan aku. Kalau kamu memang lupa denganku, jangan paksaan sekarang untuk mengingat.”
Aku pejamkan mataku dan mulai mengatur nafasku. Kenangan itu berputar dikepalaku seperti film dengan beribu episode. Perlahan-lahan kepalaku mulai terasa ringan dan sakit kepala itu berangsur menghitang. Aku menegakkan kembali badanku.
“Karin, sekarang aku ingat semua. Thanks little girl. You make me remember everything.” Aku memeluk Karin dan bersyukur karena Karin, secepat ini ingatanku pulih kembali,” sebentar. Kamu tunggu disini. jangan kemana-mana!”
Aku berlari ke sebuah gubug yang ada disitu. Aku mengambil kotak yang berisi gelang dan kalender itu.
“Maaf membuatmu bingung. Maaf juga aku tidak mempersiapkan apapun sebagai kado hari ulang tahunmu. Aku hanya bisa membawa ini.”
Karin membuka kotak itu. Aku memakaikan gelang itu ditangan Karain, dan satu lagi ditanganku.
“Kotak ini yang membawaku kemari. Gelang ini aku beli sesaat setelah aku mendarat di Aussie.”
“Math, makasih. Aku kira kamu nggak bakalan datang. Aku ikira kamu lupa sama aku.” Karin menangis dipelukanku.
“Hampir saja aku tak kesini jika aku tak menemukan kotak itu. tapi aku tak akan pernah jadi orang yang mengingkari janji untukmu Rin.”
###

Setelah bisa mengendalikan diri aku mulai berani berbicara.
“Thanks Math. Kamu adalah kado terindah untukku sekarang. Tapi kenapa kamu bisa lupa padaku?” kataku protes dengan manja.
“Bukan lupa Karin. Itu nggak disengaja. Setengah tahun lalu aku kecelakaan dan aku amnesia. Dan…”
Dan hari itu kami kembali mengingat masa lalu kami di Bukit Bintang. Bercerita dibawah langit Bukit Bintang seperti yang dulu kami lakukan. Walaupun kami bertemu lebih dulu dari jadwal yang kami tentukan, aku merasa sangat bahagia dan beruntung. Ternyata penantian dan kesabaranku taki sia-sia. Dan tentu saja kalian pasti bisa menebak bersama siapa Math memilih untuk tinggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar